Kamis, 05 Agustus 2010

Qadha' Puasa Bagi yang Menyusui

(Soal Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI)

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn rahimahullâh ditanya:

Ada seorang wanita yang puasanya pada bulan Ramadhan batal karena nifas dan tidak bisa meng-qadha‘ karena harus menyusui sampai bulan Ramadhan berikutnya datang. Apa yang wajib ia lakukan?

Beliau menjawab:

Wajib bagi wanita ini berpuasa untuk menggantikan hari-hari puasa yang dibatalkan meskipun setelah Ramadhan kedua. Karena wanita ini tidak mengqadha‘ dengan sebab udzur. Akan tetapi, jika tidak memberatkan baginya untuk mengqadha‘ pada musim dingin meskipun sehari demi sehari, maka ia harus melakukannya meskipun sedang menyusui.

Oleh karena itu, hendaklah wanita ini menguatkan tekad mengqadha‘ Ramadhan sesuai dengan kemampuannya sebelum datang bulan Ramadhan yang kedua. Jika tidak memungkinkannya untuk mengqadha‘, maka tidak mengapa ia menundanya sampai Ramadhan berikutnya.

(Fatâwâ fî Ahkâmish-Shiyâm, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn, hlm. 381)

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn ditanya:

Seorang wanita tidak berpuasa pada bulan Ramadhan karena baru melahirkan, dan ia tidak meng-qadha‘-nya. Kejadiannya sudah sangat lama, sementara itu ia tidak bisa berpuasa.

Bagaimanakah hukumnya? Berilah fatwa kepada kami. Semoga Allâh Ta'ala memberikan ampunan kepada Anda?

Beliau menjawab:

Wanita ini wajib bertaubat kepada Allâh Ta'ala dari perbuatannya, karena seseorang tidak boleh menunda qadha‘ Ramadhan sampai bulan Ramadhan (tahun berikutnya) kecuali karena udzur yang dibenarkan syariat. Karena itu, ia wajib bertaubat. Kemudian, jika masih mampu berpuasa meskipun sehari demi sehari, maka hendaklah ia berpuasa. Jika tidak mampu, hendaklah ia memperhatikan; jika ketidakmampuannya itu karena udzur yang bersifat tetap, maka ia harus memberikan makan kepada satu orang miskin sebagai ganti satu hari puasa. Jika ketidakmampuannya itu karena udzur yang bersifat sementara yang diharapkan bisa hilang, maka ia menunggu sampai udzur itu hilang, kemudian setelah itu ia mengqadha‘ apa yang menjadi kewajibannya.

(Fatâwâ fî Ahkâmish-Shiyâm, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn, hlm. 382)